Friday, October 30, 2009

Gempa; Bencana atau Gegabah?

Hanya berselang tidak lebih dari 3 bulan, aku kembali mengunjungi ibukota Negara dengan tujuan dan misi yang tidak perlu aku paparkan di sini (aku mengerti keterbatasan waktu anda untuk membaca postingan ini) dan kali ini juga tidak hanya TA yg berhasil dikungjungi. Hehe.

Satu hal yg menarik yg aku alami di sana adalah sempat terjadinya gempa dengan kekuatan menengah pada suatu sore dengan pusat gempa nya dikabarkan berada di sekitar daerah Banten, Jawa Barat. Sempat terjadi kepanikan massa dengan pemandangan para pegawai kantoran tingkat tinggi, pengunjung rumah dan warga kebanyakan berhamburan keluar serta sibuk telepon/sms/BBM/FB sana sini untuk memastikan para sanak saudara, handai taolan, temen-temennya sekalian aman-aman saja. Mungkin kita masih trauma dengan berita gempa hebat yg melanda saudara-saudara kita di Padang pertengahan September lalu, di mana ribuan bangunan roboh, ratusan org kehilang nyawa, ratus ribuan orang menderita luka-luka maupun kehilangn tempat tinggal. Setiap terjadi bencana alam, para pemerintah dan kemudian diaminin oleh warga, bahwa itu adalah kehendak dari Yang Di Atas, cobaan dari Yang Maha Kuasa; atau para paranormal/orang pinter/dukun berasumsi bahwa ini adalah kuasa jahat yg kemudian bisa dengan gampang di-politisasikan. Maka terdengerlah ucapan yg menghubungkan peristiwa bencana alam dengan terpilihnya SBY sebagai presiden, karena kebetulan pada taon 2004, di awal kepemimpinan beliau terjadi Bencana Tsunami di Aceh yg merenggut ribuan jiwa dan triliunan rupiah kerugian material dan bathin, disusul gempa hebat di pertengaha Mei 2006 yang melanda Kota Jogjakarta kemudian “portofolio” beliau ditambah dengan gempa Padang 2009 ini, hingga ada yg nyelutuk singkatan SBY itu: “ Selalu Bencana Ya”.

Kita sedari SMP pelajaran Geografi sudah diajarin bahwa Kepulauan Indonesia terletak di pertemuan di 3 lempeng tektonik, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifk, yg berarti di belahan dunia manapun terjadi gempa, Indonesia sebenarnya bakal merasakan gempa juga, tergantung seberapa jauh nya epicenter/titik pusat gempa itu dari Indonesia. Jadi, bole dibilang bahwa Indonesia sebenarnya adalah daerah yg sangat sangat rawan gempa, cuma selama ini memang belum ada gempa yg epicenter nya mendekati Indonesia sampai akhir tahun 2004 dengan ditandai tsunami di Aceh yg jg dipicu oleh pergeseran tektonik yg kemudian menyadarkan kita kembali bahwa Indonesia ini Negara rawan gempa.

Bener, pergeseran tektonik tanah adalah hal yg di luar kontrol manusia yang bakal terjadi sewaktu-waktu seiring bertambahnya usia bumi ini dan kita tidak mungkin bisa mencegahnya. Tapi yakinlah seyakin-yakinnya, kita tentu bisa mencegah tingkat kerusakan yg terjadi yang diakibatkan gempa itu, tentu ada tindakan preventif yang bisa dilakukan sehingga tidak perlu ratusan nyawa tersia-siakan yang bahkan sebagian besar mayat saja sudah tidak ditemukan lagi. Tidak, ini bukan saatnya kita dengan gampang ngomong ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa; bukan pula saatnya kita dengan gamblang menyalahkan bahkan mengutuki Yang Maha Kuasa atas bencana yg terjadi. Tidak. Sama sekali Tidak. Kita tidak perlu mempertanyakan kepada DIA kenapa membiarkan ini terjadi, tapi yang mesti dipertanyakan justru adalah kenapa kita bisa tidak bisa mencegah, atau setidaknya meminimalisasikan kerusakan yg ditimbulkan gempa. Pandanglah ke utara, Jepang adalah negara kepulauan yang hampir setiap harinya diguncang gempa kecil, sedang maupun besar, tapi kapan terakhir kali kita mendenger ada kejadian gempa di Jepang yg mengakibatkan ratusan nyawa melayang dan ribuan bangunan roboh dengan kerugian bermilyar2an dollar? Tidak kan, karena mereka sudah melakukan segala tindakan preventif untuk bencana gempa. Tindakan preventif seperti apa yang kamu maksud? Some points that came across my mind that I wish to share, as following:

Pertama, pemerintah harusnya bisa menyusun semacam Evacuation Response Plan atau Emergency Response Plan yg diwajibkan kepada setiap bangunan yang bertujuan untuk menyuluhkan kepada warga atau penduduk yg beraktivitas di dalam bangunan, terutama bangunan bertingkat, bagaimana cara bereaksi, berlindung maupun melarikan diri yg benar dan tepat apabila terjadi gempa. Ini persis sama seperti safety demo yg diwajibkan di setiap penerbangan komersil. Jika di penerbangan komersil, peraturan ini bisa dipaksakan, kenapa tidak dalam program pencegahan gempa. Setidaknya ini bakal membuat para warga mengerti bagaimana cara menyelamatkan diri dengan cara yang tepat di tengah kepanikan yang melanda dan tentu saja akan memudahkan tim SAR/Polisi/medic dalam mengevakuasi warga dari lokasi gempa.

Kedua, pembangunan bangunan anti-gempa yang tidak harus berteknologi canggih seperti bangunan di Jepang atau Taiwan, tapi at least dengan structure bangunan yang lebih kokoh bisa menahan getaran gempa lebih lama sehingga memungkin para warga yg ada di dalam bangunan mempunyai waktu yg cukup untuk berevakuasi. Well, yakinlah Indonesia banyak Engineer2 handal, terutama Civil Engineer/Architect yang sanggup membuat design bangunan dengan structure anti gempa yg cukup mumpuni. Jika di dunia IT dikenal istilah open source, dimana para software developer ngembangin code yg kemudia dishare secara di antara sesama programmer untuk kepentingan ilmu pengetahuan, mungkin design bangunan anti gempa ini bisa juga disharing dengan cara demikian dan biarkan setiap engineer pemda punya akses untuk menggunakan design bersangkutan untuk membangun bangunan rumah penduduk di daerah masing-masing.

Mungkin para pembaca mempunyai masukan lainnya yang berguna untuk ditambahkan?
Ini hanya sebuah sharing singkat bagaimana untuk mencegah terjadinya gempa itu di luar kontrol kita tapi meminimalkan kerusakan akibat gempa itu sepenuhnya berada di bawah kontrol kita.

Nature never hinder our creativity and knowledge to make fun of natural disaster, not the other way around.

Tuesday, October 6, 2009

Bulutangkis, Olahraga Nasional Kita

Pernahkah anda bertanya-tanya: Mengapa Indonesia lebih hebat dalam bulutangkis ketimbang tenis? Bukankah intensif dalam tenis jauh lebih besar? Selain hadiah uang yang bisa didapat jelas jauh lebih banyak, olahraga tenis juga lebih dikenal di dunia international, sehingga lebih besar kemungkinan untuk menjadi atlet terkenal, yang berarti pemasukan lagi dari sponsor dan endorsement.
Kenapa kita lebih memilih bulutangkisa yang uangnya lebih sedikit?

Sedikit analisis 'nyeleneh' di bawah ini mungkin bakal membuat anda tersenyum di awal dan mengerutkan nadi serta manggut2 tanda setuju.

Lapangan tenis jauh lebih besar (Ukuran lapangan tenis 23,77 m X 10,97 m sedang ukuran lapangan bulutangkis 13,4 m X 6,1 m). Di akhir pertandingan misalnya, atlet tenis harus berjalan jauh dari baseline ke net hanya untuk bersalaman. Di bulutangkis jaraknya lebih dekat. Kita, orang Indonesia, tidak suka berjalan kaki terlalu jauh. Begitu harus menempuh jarak yg agak jauh (let`s say 10 mins walk), kita pasti otamatis akan naek motor, mobil atau mungkin tidak jadi pergi.

Pertandingan tenis terlalu lama. Rekor pertandingan tenis terlama tercatat di French Open 2004 yg menghabiskan waktu 6 jam lebih. Di bulutangkis, rekor pertandingan terlama yg pernah dicatat hanya 124 menit. Kita, orang Indonesia tidak suka berlama-lama. Kita, orang Indonesia, suka yg serba cepat, kilat dan instan. Ever wonder why Indomie is such a phenomenal in Indonesia?

Perhitungan skor tenis lebih sulit: memenangkan angka pertama, dapat skor 15. Menang lagi, dapat skor 30. Menang lagi, dapat 45? Tidak. Dapat 40, lho koq?! Yang 5 ke mana coba? Setelah itu, kalau memenangkan angka lagi jadilah game, kita dapat skor 1, dan yang 40 tadi jadi nol kembali. Lho? Lho? Menghitung skor bulutangkis jauh lebih mudah. Kita, orang Indonesia, tidak suka yang rumit-rumit, dan lebih suka yang mudah-mudah saja. Seperti kata mantan Presiden kita: " Gitu za koq repot?"

Di tenis , maksimum skor yg didapat adalah 7, itupun kalau tie break. Kalau tidak, maksimum cuman dapat 6. Di bulutangkis, sudah mainnya lebih cepat, dapat skornya pun lebih banyak, lebih enak kan? Kita, orang Indonesia, suka sesuatu dalam jumlah yg banyak, jumlah yg besar. Maka tidaklah heran banyaknya nol yg bertebaran di duit kertas kita.

Pertandingan tenis banyak dilakukan di luar ruangan dan bulutangkis senantiasa dilakukan di dalam ruangan. Kita, orang Indonesia, tidak suka berpanas-panas di luar. Itulah sebabnya tempat tongkrongan favorit kita adalah shopping mall yang ber-AC hampir di setiap sudut bangunan, bahkan juga WC. Kalau bisa enak di dalam ruangan ber-AC, ngapaen juga berpanas-panas ria di luar? Bau lagi.

Di bulutangkis, bila gagal menggembalikan bola, shuttle cock tidak akan jatuh jauh dari lapangan. Di lapangan tenis tidak begitu. Kalau kita gagal menggembalikan bola akan menggelinding jauh ke luar lapangan. Kita, orang Indonesia, tidak suka repot, jalan jauh2 hanya untuk mungut bola. Mbak!!ngambilin minum saya di kulkas dunk! Buru!!

Semakin hebat pemainnya, pertandingan tenis lama kelamaan semakin mirip dengan bulutangkis, dengan drop-shot, umpan menyilang di depan net dan smash sambil melompat. Di masa-masa awal Wimbledon teknik permainan semacam ini bisa dibilang tidak ada. Kalau memang tenis akan perlahan-lahan berevolusi menjadi bulutangkis, buat apa cape-cape belajar tenis? Kita, orang Indonesia, suka potong jalan, ambil jalur cepat dan langsung main bulutangkis saja. Jalur busway mbahmu!! Saya mau cepat, tolong minggir ya!!!


PS:postingan ini hanya sebuah obrolan singkat, santai, dan renyah, tanpa bermaksud sedikitpun mendiskreditkan para pahlawan bulutangkis kita yang sudah mengharumkan nama Indonesia di dunia. Wong, saya sendiri juga ikutan teriak di kala smash Taufik Hidayat jatuh di lapangan lawan .