Friday, April 11, 2008

Kisah Keberuntungan Hidup si Wowi

Banyak sekali manusia di dunia ini yang sangat membutuhkan kejutan berarti
dalam hidupnya. Namun, belum tentu semua orang seberuntung Wowi Pranata. Wowi
adalah anak semata wayang dari pasangan Pranata. Teman-temannya sempat
mengejeknya karena namanya yang aneh.

Namun, Wowi justru hanya tersenyum sambil meremehkan orang-orang bodoh yang
sering melecehkan namanya. Wowi tahu, namanya agak aneh. Tapi, yang
membuatnya bisa tersenyum adalah dia tahu makna di balik namanya itu.

Wowi diambil dari kata "Wow!". Biasanya, kata "Wow!" menandakan adanya
suatu
kejutan, sedangkan huruf "I" dari nama Wowi itu hanya simbol tanda seru yang
dibalik.

Dulu, Wowi dan kedua orang tuanya adalah seorang pemulung yang sering
memungut sampah-sampah. Lalu, semuanya berubah ketika Wowi menggosok kupon
undian yang didapatnya dari salah satu merek minuman terkenal. Ada tulisan
Selamat! Anda mendapatkan sebuah rumah di dalamnya.

Ketika mengetahui hal itu, kedua orang tua Wowi seketika menciumnya hingga
seluruh wajah dan rambutnya penuh dengan ail liur. Seminggu kemudian, rumah
yang letaknya dekat dengan perumahan artis-artis terkenal itu berhasil mereka

tempati.

Alhasil, banyak orang yang meliput berita mereka. Bahkan, seluruh headline
koran memuat berita tentangnya, mengalahkan semua berita artis yang selalu
gonta-ganti pasangan.

Selang beberapa hari, salah satu rumah produksi terkenal mengontraknya untuk
bermain sinetron kejar tayang. Seluruh artis muda yang tinggal dekat rumahnya
mulai menyukai Wowi. Wowi pun sangat senang. Hanya karena ia menghargai
namanya, nasibnya bisa berubah 180 derajat. Tujuh belas tahun tahun telah
berlalu.

Wowi tumbuh menjadi laki-laki dewasa. Wajahnya yang dulu penuh dengan debu
dan kotoran sekarang sudah bersih mengilap seperti berlian. Badannya yang
dulu setipis benang sekarang sudah atletis, idaman seluruh wanita.

Sekarang Wowi terbaring di tempat tidur, mengingat seluruh kenangannya
sewaktu kuliah dan sekolah dulu. Lalu, ia mengambil foto wisudanya setahun
lalu. Ada seorang bapak tua dengan kepala botak dan berwajah mengerikan di
sampingnya. Wowi ingat, dosen yang mengajar ekonomi itu adalah Pak Hendro. la
suka sekali bertingkah seperti perempuan. Lebih parahnya lagi, Pak Hendro

suka memegang paha Wowi.

Namun, semuanya berakhir ketika Wowi membisikkan kata "waria" ke telinganya.
Sejak itu, Pak Hendro menghindarinya. Namun, entah bagaimana, skripsinya
mendapat nilai A. Padahal, waktu itu Wowi sudah sangat putus asa. Setelah
itu, Pak Hendro menghilang.

Hari ini, tepat setahun sudah dirinya menganggur dan menjomblo. Tak terhitung
sudah banyaknya lowongan yang ditawarkan kepadanya. Semuanya ditolak. Kedua
orang tua Wowi hanya bisa pasrah melihat kelakuannya.

Namun, Wowi punya rencana. Hari ini, dia akan melamar ke PT Kartika Utama,
perusahaan yang cukup terkenal. Wowi menyiapkan segala sesuatu yang berguna
untuk lamarannya nanti. Kemudian tanpa berpamitan, Wowi langsung bergegas
dengan motor sport barunya itu. Selang 30 menit kemudian, Wowi sampai di
kantor tersebut. la kaget melihat gedung yang menjulang tinggi hingga
mencapai awan itu. Semangat Wowi kembali menyala. la bergegas masuk menuju
lantai 100, tempat direktur utama.

Wowi terperangah memandang ruangannya. Ruang itu benar-benar luas, mungkin
seluruh isi di kamar Wowi bisa ditaruh di sana. Namun, Wowi lebih menganga
lagi ketika melihat sesosok cewek di depannya. Wanita itu berparas anggun,

rambutnya yang bergelombang dibiarkan berkibar seperti bendera. Ia memandang
Wowi dengan keheranan.

"Maaf, saya ingin melamar pekerjaan di sini," kata Wowi. Wanita itu agak
kaget. "Ini suratnya," kata Wowi. Bu Kartika memeriksa surat lamaran Wowi.
la
membolak-balik halaman surat tersebut dengan cermat. Sementara itu, Wowi
mencuri-curi pandang ke tangan Bu Kartika. Tidak ada cincin di tangannya!
Berarti, ia belum kawin!, pikir Wowi.

Beberapa menit kemudian, Bu Kartika menutup dokumen itu dan memandang
Wowi. "Kamu diterima," katanya sambil tersenyum.

"Tanpa wawancara?" tanya Wowi keheranan. Bu Kartika memandang dokumen itu
lagi, "Aku pikir, kemampuanmu sudah cukup bagus".

"Wow!" kata Wowi dalam hati.

Sejak saat itu, Wowi mulai bekerja di perusahaan Bu Kartika. la menjadi
asisten pribadinya. Wowi merasa sangat beruntung. Itu berarti, dia bisa lebih
dekat dengan Bu Kartika. Bahkan tanpa segan, Wowi sering sekali membelikan
makanan untuk Bu Kartika meski itu hanya pangsit di pinggir jalan.


Wowi pun merasakan respons positif dari Bu Kartika. Belakangan, Bu Kartika
sering sekali meneleponnya tengah malam. Mereka berdua membicarakan banyak
hal. Wowi merasa senang. Bu Kartika kau ada di genggamanku sebentar lagi!,
katanya dalam hati.

Waktu sudah berjalan 3 bulan. Hubungan mereka seperti amplop yang ditempeli
prangko. Di mana ada Wowi di situ pula ada Bu Kartika. Hal ini membuat rekan-
rekan kerjanya bertanya-tanya, kenapa orang seperti Wowi bisa berdekatan
dengan anak konglomerat seperti Bu Kartika. Bisik-bisik selalu terdengar
setiap kali mereka berdua lewat.

Meski begitu, Wowi masih merasa kesusahan untuk mengungkapkan cintanya.
Apalagi belakangan ini, jadwal harian Bu Kartika selalu penuh dengan meeting.
Wowi mencoba bersabar menunggu jadwal kosong.

"Apa jadwalku hari ini, Wowi?" tanya Bu Kartika di hari Senin yang cerah.
Wowi memandang buku jadwal hariannya.

"Hari ini jadwal Bu Kartika adalah... Nomat bersamaku." Dokumen-dokumen yang
dipegang Bu Kartika langsung terjatuh seketika. Wowi kaget melihat ekspresi
Bu Kartika


"Tentu saja aku mau, Wowi," kata Bu Kartika sambil tersipu malu. Beberapa
menit kemudian, mereka berdua sudah duduk di bioskop. Wowi merasa gugup dan
ketakutan. Seluruh badannya kejang mendadak. Ayo, Wowi, kalau tidak hari ini,
kapan lagi! seru hatinya menyemangati.

Akhirnya, Wowi memberanikan diri mendekat kepada Bu Kartika.

"Bu, aku ingin mengatakan sesuatu..." Bu Kartika langsung memandangnya. "Apa
itu?" Mulut Wowi langsung sakit. "Aku... cin..." Wowi terhenti lagi. Belum
pernah ia merasa sesulit ini untuk mengatakan sesuatu. Sementara itu, Bu
Kartika masih memandangnya kebingungan.

"Aku... cinta... kamu." lanjut Wowi melawan seluruh sakit di badannya. Bu
Kartika tersipu lagi. "Aku juga," katanya.

Tiba-tiba, seluruh badan Wowi terasa ringan. Ia merasa lebih beruntung
daripada Donald Trump. Bu Kartika pun mengerucutkan bibirnya dan mulai
mendekati Wowi. Wowi juga mulai mengerucutkan bibirnya. Jarak mereka semakin
mendekat tiga senti, dua senti, satu senti... BRAKK!

Tas Bu kartika terjatuh. Sial! kata Wowi dalam hati. Segera Wowi membantu Bu
Kartika membereskan barangnya. Pada saat itu juga, Wowi menemukan sebuah foto
laki-laki, di dadanya terdapat begitu banyak bulu. Yang lebih menjijikkan, ia
berpose seperti model. Perlahan, Wowi memungut foto itu.

"Siapa ini?" tanya Wowi agak marah. Bu Kartika kembali tersipu. "Oh itu...
itu foto waktu aku sebelum operasi..."

Badan Wowi seakan tersambar petir mendengar itu. Sebelum operasi... sebelum
operasi... kata tersebut terus terngiang di telinga Wowi. Kemudian, Wowi
memandang foto itu lagi. Ia langsung menggeleng tak percaya. "Pak Hendro..."
Dengan takut, Wowi memandang Bu Kartika lagi.

"Senangnya bisa memegang pahamu lagi" kata Bu Kartika sambil memegang paha
Wowi.
"AAAAARRRGGGGHHHH!"

Sejak itu Wowi sadar, keberuntungan belum tentu membawa cinta.


Oleh: Andi Kurniawan Suhendra

Wednesday, April 9, 2008

When You Divorce Me, Carry Me Out in Your Arms

On my wedding day, I carried my wife in my arms.
The bridal car stopped in front of our one-room flat. My buddies insisted that
I carry her out of the car in my arms. So I carried her into our home. She was
then plump and shy. I was a strong and happy bridegroom.

This was the
scene ten years ago.

The following days were as simple as a cup of pure
water: we had a kid; I went into business and tried to make more money. When
the assets were steadily increasing, the affection between us seemed to ebb.
She was a civil servant. Every morning we left home together and got home
almost at the same time. Our kid was studying in a boarding school.

Our marriage life
seemed to be enviably happy. But the calm life was more likely to be affected
by unpredictable changes.


Dew came into my life.

It was a sunny
day. I stood on a spacious balcony. Dew hugged me from behind. My heart once
again was immersed in her stream of love. This was the apartment I bought for
her.

Dew said, you are the kind of man who best draws girls' eyeballs.
Her words suddenly reminded me of my wife. When we were just married, my wife
said, Men like you, once successful, will be very attractive to girls.


Thinking of this, I became somewhat hesitant. I knew I had betrayed my
wife. But I couldn't help doing so.

I moved Dew's hands aside and said
you go to select some furniture, O.K.? I've got something to do in the company.
Obviously she was unhappy, because I had promised to do it together with her.
At the moment, the idea of divorce became clearer in my mind although it used
to be something impossible to me.

However, I found it rather difficult to tell
my wife about it. No matter how mildly I mentioned it to her, she would be
deeply hurt.

Honestly, she was a good wife. Every evening she was busy
preparing dinner. I was sitting in front of the TV. The dinner was ready soon.
Then we watched TV together. Or, I was lounging before the computer,
visualizing Dew's body. This was the means of my entertainment.

One day I said to
her in a slightly joking way, suppose we divorce, what will you do? She stared
at me for a few seconds without a word. Apparently she believed that divorce
was something too far away from her. I couldn't imagine how she would react
once she got to know I was serious.

When my wife went to my office, Dew had just
stepped out. Almost all the staff looked at my wife with a sympathetic eye and
tried to hide something while talking to her. She seemed to have got some hint.
She gently smiled at my subordinates. But I read some hurt in her eyes.


Once again, Dew said to me, He Ning, divorce her, O.K.? Then we live
together. I nodded. I knew I could not hesitate any more.

When my wife
served the last dish, I held her hand. I've got something to tell you, I said.
She sat down and ate quietly. Again I observed the hurt in her eyes. Suddenly I
didn't know how to open my mouth. But I had to let her know what I was thinking.


I want a divorce. I raised the serious topic calmly.

She didn't seem to
be annoyed by my words, instead she asked me softly, why? I'm serious. I
avoided her question. This so-called answer made her angry. She threw away the
chopsticks and shouted at me, you are not a man!

That night, we didn't
talk to each other. She was weeping. I knew she wanted to find out what had
happened to our marriage. But I could hardly give her a satisfactory answer,
because my heart had gone to Dew.

With a deep sense of guilt, I drafted a
divorce agreement which stated that she could own our house, our car, and 30%
stake of my company. She glanced at it and then tore it into pieces. I felt a
pain in my heart. The woman who had been living ten years with me would become a


stranger one day. But I could not take back what I had said.

Finally she
cried loudly in front of me, which was what I had expected to see. To me her
cry was actually a kind of release. The idea of divorce which had obsessed me
for several weeks seemed to be firmer and clearer.

Late that night, I came
back home after entertaining my clients. I saw her writing something at the
table. I fall asleep fast. When I woke up, I found she was still there. I
turned over and was asleep again.

She brought up her divorce conditions: she
didn't want anything from me, but I was supposed to give her one month s time
before divorce, and in the month's time we must live as normal a life as
possible. Her reason was simple: our son would finish his summer vacation a

month later and she didn't want him to see our marriage was broken.

She
passed me the agreement she drafted, and then asked me, He Ning, do you still
remember how I entered our bridal room on the wedding day? This question
suddenly brought back all those wonderful memories to me. I nodded and said, I
remember. You carried me in your arms, she continued, so, I have a requirement,
that is, you carry me out in your arms on the day when we divorce. From now to
the end of this month, you must carry me out from the bedroom to the door every
morning.

I accepted with a smile. I knew she missed those sweet days and
wished to end her marriage romantically.

I told Dew about my wife s
divorce conditions. She laughed loudly and thought it was absurd. No matter
what tricks she does, she has to face the result of divorce, she said
scornfully. Her words more or less made me feel uncomfortable.

My wife and I hadn't had
any body contact since my divorce intention was explicitly expressed. We even
treated each other as a stranger. So when I carried her out on the first day,

we both appeared clumsy. Our son clapped behind us, daddy is holding mummy in
his arms. His words brought me a sense of pain. From the bedroom to the sitting
room, then to the door, I walked over ten meters with her in my arms. She
closed her eyes and said softly, Let us start from today, don't tell our son.
I nodded, feeling somewhat upset. I put her down outside the door. She went
to wait for a bus, I drove to the office.

On the second day, both of us acted much
more easily. She leaned on my chest. We were so close that I could smell the
fragrance of her blouse. I realized that I hadn't looked at this intimate woman
carefully for a long time. I found she was not young any more. There were some
fine wrinkles on her face.

On the third day, she whispered to me, the
outside garden is being demolished. Be careful when you pass there.

On
the fourth day, when I lifted her up, I seemed to feel that we were still an
intimate couple and I was holding my sweetheart in my arms. The visualization
of Dew became vague.

On the fifth and sixth day, she kept reminding me
something, such as, where she put the ironed shirts, I should be careful while
cooking, etc. I nodded. The sense of intimacy was even stronger. I didn't tell
Dew about this.

I felt it was easier to carry her. Perhaps the everyday
workout made me stronger. I said to her, It seems not difficult to carry you
now. She was picking her dresses. I was waiting to carry her out. She tried
quite a few but could not find a suitable one. Then she sighed, all my dresses
have grown bigger. I smiled. But I suddenly realized that it was because she
was thinner that I could carry her more easily, not because I was stronger.
I knew she had buried all the bitterness in her heart. Again, I felt a sense
of pain. Subconsciously I reached out a hand to touch her head.

Our son came in
at the moment. Dad, it's time to carry mum out. He said. To him, seeing his
father carrying his mother out had been an essential part of his life. She
gestured our son to come closer and hugged him tightly. I turned my face
because I was afraid I would change my mind at the last minute. I held her in
my arms, walking from the bedroom, through the sitting room, to the hallway.
Her hand surrounded my neck softly and naturally. I held her body tightly,

as if we came back to our wedding day. But her much lighter weight made me sad.

On the
last day, when I held her in my arms I could hardly move a step. Our son had
gone to school. She said, actually I hope you will hold me in your arms until
we are old.

I held her tightly and said, both you and I didn't notice that
our life lacked intimacy.

I jumped out of the car swiftly without
locking the door. I was afraid any delay would make me change my decision. I
walked upstairs. Dew opened the door. I said to her, Sorry, Dew, I won't
divorce. I'm serious.

She looked at me, astonished. The she touched my
forehead. You got no fever. She said. I moved her hand off my head. Sorry, Dew,
I said, I can only say sorry to you, I won't divorce. My marriage life was
boring probably because she and I didn't value the details of life, not
because we didn't love each other any more. Now I understand that since I
carried her into the home, she gave birth to our child, I am supposed to hold
her until I am old. So I have to say sorry to you.


Dew seemed to suddenly wake up. She
gave me a loud slap and then slammed the door and burst into tears. I walked
downstairs and drove to the office.

When I passed the floral shop on the
way, I ordered a bouquet for my wife which was her favorite. The salesgirl
asked me what to write on the card. I smiled and wrote, I'll carry you out
every morning until we are old.

Tuesday, April 8, 2008

Marah mengapa harus berteriak?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;

"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara
dengan suara kuat atau berteriak?"
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab;

"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu
berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada
disampingnya. Mengapa harus berteriak?

Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar Menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.
Sang guru lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan,jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat.
Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi
marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun
menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang
saling jatuh cinta?

Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang
keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya
bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?"
Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat
dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak.Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan,janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, TAK mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang BIJAKSANA. Karena waktu akan membantu anda."

Forgive then Forget

Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua orang
tampil dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkan pun tampak lezat
dan mengundang selera. Saat Anda antre untuk mengambil makanan,
tiba-tiba seseorang yang sangat Anda percaya berbisik di telinga Anda,
"Hati-hati, banyak makanan tak halal di sini, bahkan ada beberapa yang
beracun ! "


Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat mengambil makanan.
Boleh jadi Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda benar, hanya orang
bodohlah yang mau menyantap makanan tersebut. Kita tak mau makan
sembarangan. Kita sangat peduli pada kesehatan kita.


Anehnya, kita sering - bahkan dengan sengaja - memasukkan "
makanan-makanan beracun " ke dalam pikiran kita.

Kita tak sadar bahwa inilah sumber penderitaan kita.
Salah satu makanan yang paling berbahaya tersebut bernama :
ketidakmauan kita untuk memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain!


Ketidakmauan memaafkan dan melupakan adalah penyakit berbahaya yang
menggerogoti kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah
karena dunia berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita marah karena
pasangan, anak, orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak
melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam
kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.


Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara
motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita
celaka, politisi yang hanya memperjuangkan perutnya sendiri, pembantu
yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita mungkin
berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita
benci.


Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan dan melupakan kesalahan
orang lain memiliki dampak hebat terhadap tubuh kita ; menciptakan
ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan sistim kekebalan,
meningkatkan tekanan jantung., otak dan setiap organ dalam tubuh kita.
Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit seperti pusing,
sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak
bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.


Musuh kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi orang
yang kita benci.


Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain.


Hentikan kebiasaan menyalahkan orang lain.
Ingatlah bahwa kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidak
sempurnaannya.

Monday, April 7, 2008

Laut Galilea dan Laut Mati

Di Palestina ada dua laut. Keduanya sangat berbeda.

Yang satu dinamakan Laut Galilea, yaitu sebuah danau yang luas dengan
air yang jernih dan bisa di minum. Ikan dan manusia berenang dalam laut
tersebut.

Danau itu juga dikelilingi oleh ladang dan kebun hijau, banyak orang
mendirikan rumah di sekitarnya.


Laut yang lain dinamakan Laut Mati, dan sungguh sesuai dgn namanya.

Segala sesuatu yg ada didalamnya mati. Airnya sungguh asin sehingga
kita bisa sakit jika meminumnya. Danau itu tidak ada ikannya dan tidak
ada sesuatupun yg sanggup tumbuh di tepiannya. Tak juga ada orang yg
ingin tinggal di sekitarnya, sebab baunya sangat tak sedap.


Jadi yang menarik tentang kedua laut itu adalah bahwa sungai yang
mengalir ke keduanya adalah satu sungai. Trus, apa yang membuatnya
kemudian jadi beda?

Bedanya, laut yang satu menerima dan memberi (Galilea), sedang laut
lainnya menerima dan menyimpannya saja (Laut mati).


Sungai Yordan mengalir ke Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar
danau itu. Danau tersebut memanfaatkan air sungai Yordan dan kemudian
meneruskannya kepada danau lain yg juga memanfaatkannya. Sungai Yordan
kemudian mengalir ke Laut Mati namun tdk pernah keluar lagi.


Laut Mati menyimpan air Sungai Yordan bagi dirinya sendiri.

Hal itulah yang membuatnya mati : hanya menerima dan tidak mau memberi.

Halo Halo Operator

Operator Telepon Waktu saya masih amat kecil, ayah sudah memiliki telepon
di rumah kami. Inilah telepon masa awal, warnanya hitam, di tempelkan di
dinding, dan kalau mau menghubungi operator, kita harus memutar sebuah
putaran dan minta disambungkan dengan nomor telepon lain. Sang operator
akan menghubungkan secara manual.

Dalam waktu singkat, saya menemukan bahwa , kalau putaran di putar ,
sebuah suara yang ramah, manis, akan berkata :"Operator"Dan si operator
ini maha tahu. Ia tahu semua nomor telepon orang lain.! Ia tahu nomor
telepon restoran, rumah sakit, bahkan nomor telepon toko kue di ujung kota.

Pengalaman pertama dengan sang operator terjadi waktu tidak ada seorang
pun dirumah, dan jempol kiri saya terjepit pintu. Saya berputar putar
kesakitan dan memasukkan jempol ini kedalam mulut tatakala saya ingat ….
operator!!

Segera saya putar bidai pemutar dan menanti suaranya.

"Disini operator…"

"Jempol saya kejepit pintu…"kata saya sambil menangis .
Kini emosi bisa meluap, karena ada yang mendengarkan.

"Apakah ibumu ada di rumah ?"tanyanya.
"Tidak ada orang"
"Apakah jempolmu berdarah ?"
"Tidak , cuma warnanya merah, dan sakiiit sekali"
"Bisakah kamu membuka lemari es ?"tanyanya.
"Bisa, naik di bangku"
"Ambillah sepotong es dan tempelkan pada jempolmu…"

Sejak saat itu saya selalu menelpon operator kalau perlu sesuatu.
Waktu tidak bisa menjawab pertanyaan ilmu bumi, apa nama ibu kota
sebuah Negara, tanya tentang matematik. Ia juga menjelaskan bahwa
tupai yang saya tangkap untuk dijadikan binatang peliharaan , makannya
kacang atau buah.

Suatu hari, burung peliharaan saya mati. Saya telpon sang operator
dan melaporkan berita duka cita ini. Ia mendengarkan semua keluhan,
kemudian mengutarakan kata kata hiburan yang biasa diutarakan orang
dewasa untuk anak kecil yang sedang sedih. Tapi rasa belasungkawa
saya terlalu besar.

Saya tanya :"Kenapa burung yang pintar menyanyi dan menimbulkan sukacita
sekarang tergeletak tidak bergerak dikandangnya ?"

Ia berkata pelan :"Karena ia sekarang menyanyi di dunia lain…"Kata-kata
ini - ngga tau bagaimana - menenangkan saya.

Lain kali saya telpon dia lagi.

"Disini operator"

"Bagaimana mengeja kata kukuruyuk?"

Kejadian ini berlangsung sampai saya berusia 9 tahun. Kami
sekeluarga kemudian pindah kota lain. Saya sangat kehilangan
"Disini operator"

Saya tumbuh jadi remaja, kemudian anak muda, dan kenangan masa kecil
selalu saya nikmati. Betapa sabarnya wanita ini. Betapa penuh pengertian
dan mau meladeni anak kecil.

Beberapa tahun kemudian, saat jadi mahasiswa, saya studi trip ke kota asal.
Segera sesudah saya tiba, saya menelpon kantor telepon, dan minta bagian
"operator"

"Disini operator"

Suara yang sama. Ramah tamah yang sama.

Saya tanya :"Bisa ngga eja kata kukuruyuk"

Hening sebentar. Kemudian ada pertanyaan :"Jempolmu yang kejepit pintu
sudah sembuh kan ?"

Saya tertawa."Itu Anda…. Wah waktu berlalu begitu cepat ya"

Saya terangkan juga betapa saya berterima kasih untuk semua pembicaraan
waktu masih kecil. Saya selalu menikmatinya. Ia berkata serius :"Saya
yang menikmati pembicaraan dengan mu. Saya selalu menunggu nunggu kau
menelpon"

Saya ceritakan bahwa , ia menempati tempat khusus di hati saya. Saya
bertanya apa lain kali boleh menelponnya lagi."Tentu, nama saya Saly"

Tiga bulan kemudian saya balik ke kota asal. Telpon operator. Suara yang
sangat beda dan asing. Saya minta bicara dengan operator yang namanya Saly.

Suara itu bertanya"Apa Anda temannya ?"

"Ya teman sangat lama"

"Maaf untuk kabarkan hal ini, Saly beberapa tahun terakhir bekerja paruh
waktu karena sakit sakitan. Ia meninggal lima minggu yang lalu…"

Sebelum saya meletakkan telepon, tiba tiba suara itu bertanya :
"Maaf,apakah Anda bernama Paul ?"

"Ya"

"Saly meninggalkan sebuah pesan buat Anda. Dia menulisnya di atas sepotong
kertas, sebentar ya….."

Ia kemudian membacakan pesan Saly :"Bilang pada Paul, bahwa IA SEKARANG
MENYANYI DI DUNIA LAIN… Paul akan mengerti kata kata ini…."

Saya meletakkan gagang telepon. Saya tahu apa yang Saly maksudkan.

Jangan sekali sekali mengabaikan, bagaimana Anda menyentuh hidup
orang lain!!

Tetes Embun Buat Adik

Di hari terakhir sebelum hari Natal tiba, aku bergegas pergi ke
Supermarket untuk membeli beberapa hadiah lagi yang belum sempat
terbeli pada waktu sebelumnya. Aku tidak mau terjebak dalam salju.
Ketika saya sampai dan melihat kekerumunan orang di sana, saya mulai
mengeluh pada diri sendiri.

"Kayaknya saya akan selamanya berada disini nih dan padahal saya
masih harus pergi kebeberapa tempat lagi…"

Natal kali ini aku berharap bisa santai-santai. Tidak ada kewajiban
untuk saling mengunjungi saudara atau memberikan oleh-oelh buat
keponakan-keponakan. Namun demikian, aku langkahkan juga kakiku
menuju ke bagian mainan anak, dan disana aku mulai melihat-lihat
harga, dan bertanya-tanya betul nggak sih anak-anak bermain dengan
mainan-mainan semahal ini.

Sembari memcari-cari mainan dibagian itu, aku melihat seorang anak
laki kecil sekitar 5 tahunan, merapatkan sebuah boneka kedadanya
sendiri sambil memejamkan matanya. Dia terus menyentuh rambut boneka
itu dengan.. tatapan yang sedih.

Aku jadi bertanya-tanya untuk siapakah boneka itu.

Kemudian si anak lelaki kecil itu memandang kepada seorang wanita
tua yang berdiri disebelahnya: “Nek, nenek yakin kalau aku nggak
punya cukup uang?”

Wanita tua itu menjawab: “Kamu kan sudah tahu bahwa kamu nggak punya
cukup uang untuk membeli boneka ini, sayang.”

Kemudian si nenek memintanya untuk diam disitu selama 5 menit sementara
dia pergi berkeliling. Si nenek meninggalkannya dengan bergegas. Si anak
lelaki kecil tetap memegang boneka itu dalam tangannya.

Akhirnya, aku mulai berjalan menuju kearahnya dan aku menanyakannya
kepada siapa boneka itu akan diberikan?

"Boneka inilah yang sangat diidamkan oleh adik perempuan saya dan dia
sangat menginginkannya pada Natal sekarang ini. Dia sangat yakin bahwa
saya pasti akan membawakan boneka ini untuknya."

Aku mencoba meyakinkan bahwa dia “..kamu pasti akan bisa membawakan
boneka itu untuk adikmu, dan kamu jangan mengkawatirkannya… “

Tapi kemudian dia menjawabku dengan sangat sedih.

"Tidak.. Aku tidak mungkin membawakan boneka ini ketempat dia
berada sekarang. Saya harus memberikannya kepada Ibu saya sehingga
ibu dapat memberikannya ketika nanti Ibu juga pergi ketempatnya.”

Matanya terlihat sangat sedih.. ketika dia mengatakan kalimat itu.

"Adik saya telah pergi menghadap Tuhan. Ayah berkata bahwa Ibu juga
akan pergi menemui Tuhan segera, jadi saya pikir tentunya Ibu bisa
membawakan boneka ini untuk diberikan kepada adik saya.”

Anak kecil itu memandang saya dan kemudian berkata:

"Saya sudah pesankan ke Ayah untuk mengatakan ke Ibu jangan pergi dulu.
Saya bilang tolong tunggu saya sampai saya pulang dari supermarket.”

Jantungku hampir putus rasanya, mendengar penjelasan anak itu…

Betapa mata hati saya terbuka mendengar perkataan anak itu, bahwa masih
ada yang namanya cinta di dunia ini yang sangat mulia dari hati seorang
anak berusia 5 tahun. Karena selama ini saya merasa semua yang ada di
dunia ini adalah semu termasuk rasa cinta yang saya miliki.

Selanjutnya anak itu memperlihat selembar foto dirinya yang lucu dimana
dia sedang tertawa. Dia kemudian berkata kepadaku:

"Saya juga pengin Ibu membawa serta foto ini bersamanya, supaya Ibu tidak
lupa denganku. Aku sangat mencintai Ibuku.. padahal saya berharap Ibu tidak
seharusnya meninggalkanku tapi.. Ayah berkata bahwa Ibu harus pergi untuk
menemani adik perempuan saya.”

Kemudian.. ia memandangi boneka itu lagi dengan sedih dan mengusap
rambutnya perlahan.

Aku cepat mengambil dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar uang
dan berkata kepada anak itu:

"Bolehkah aku hitung uangmu, mungkin kamu punya cukup uang?”

"Baik…” katanya lirih. “Saya berharap ada cukup uangnya.”

Aku sisipkan uangku kedalam uangnya tanpa sepengetahuannya dan kami
mulai menghitungnya. $4.5 !! Ternyata uangnya cukup untuk boneka itu
bahkan lebih.

Anak laki itu berkata: “Terima kasih Tuhan atas pemberian uang ini.”

Kemudian dia memandangku dan menambahkan:

"Kemarin, sebelum tidur saya memohon kepada Tuhan agar saya memiliki cukup
uang untuk membelikan boneka ini, agar supaya Ibu dapat membawakannya untuk
adikku. Ternyata Tuhan mendengarkanku.”

"Saya juga berharap memiliki cukup uang agar dapat membeli sekuntum mawar
putih untuk Ibuku, tapi saya nggak berani meminta terlalu banyak kepada
Tuhan. Tapi ternyata Tuhan memberiku uang cukup untuk membeli boneka ini
dan juga mawar putih.”

Aku selesaikan belanjaan saya dengan sebuah perasaan yang amat sangat
berbeda dengan ketika saya memulainya. Beberapa menit kemudian, wanita
tua itu telah kembali dan aku pergi dengan trolley-ku.

Aku nggak bisa menghilangkan bayangan anak laki-laki itu dari ingatanku.
Dalam perjalanan pulang, aku teringat kepada sebuah artikel dari sebuah
jurnal lokal 2 hari yang lalu, yang mengatakan bahwa seorang mabuk yang
mengemudikan sebuah truk menabrak sebuah mobil yang sedang dikendari oleh
seorang wanita muda dengan anak perempuannya yang masih kecil.

Si anak perempuan meninggal seketika, dan ibunya masih hidup tetapi dalam
keadaan kritis. Keluarganya harus mengambil keputusan apakah harus mencabut
kabel dari mesin yang membantunya bertahan hidup, sebab wanita muda itu
sudah tidak mungkin lagi lepas dari keadaan koma.

Apakah mereka keluarga dari anak laki-laki kecil itu?

Dua hari setelah pertemuanku dengan dengan anak laki-laki itu, aku baca
disurat kabar bahwa wanita muda itu telah meninggal dunia.

Aku segera bergegas dan pergi membeli seikat mawar putih dan pergi
kesebuah pemakaman dimana peti jenazah di perlihatkan kepada para
pelayat dan didoakan sebelum pemakaman dalam sebuah misa requiem.

Ternyata wanita muda itu ada disana, terbaring didalam petinya, memegang
setangkai mawar putih yang indah dengan selembar foto anak lelaki itu dan
boneka diletakkan diatas dadanya.

Saya meninggalkan tempat itu.. sambil menangis, dan merasakan hidup saya
telah berubah untuk selama-lamanya.

Cinta.. yang dimiliki oleh bocah lelaki itu kepada Ibu dan adiknya tercinta,
tetap melekat hingga hari itu, sungguh tidak terbayangkan.

Hanya dalam bilangan detik, seorang yang sedang mabuk telah mengambil
semuanya itu darinya.

*****************************************

Moral dari cerita ini adalah:

Sediakan waktu untuk menghargai apa yang kamu miliki saat ini.

Cinta yang kita miliki dari dasar hati yang paling dalam adalah
sesuatu yang sangat mahal harganya, tidak dapat dinilai dengan
materi sekalipun.
Janganlah kita menyia-nyiakan waktu kita di dunia ini. Caranya dengan
selalu mencintai dan mengasihi orang-orang yang kita cintai agar kita
dapat menikmati dan merasakan betapa sangat indah dan berarti hidup kita

Tangan Ibu yg Lembut

Ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja
bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru.

Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan
orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun
demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.

Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita,
dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya.
Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai
frustasi. Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya
mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai.

Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan
karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk
dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian, saya melihat
bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah payah mencoba
untuk mengikat talinya.

Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit
radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya, seketika
ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan, iba yang
dalam kepadanya.

Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar
tanpa saya sadari.

Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar
ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah
membelit tubuh ibu,dan dia pun memutuskan membelinya.

Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut
terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang
sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada
di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu
saya yang gemetar sedang berusaha mengikat tali blusnya.

Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya,
memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memel
hati saya.

Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil
tangannya, menciumnya dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya
bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah
di dunia ini.

Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat
dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang
penuh pengorbanan dari seorang ibu.

Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati
saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu
agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu…


With Love to All Mother

Note: Berbahagialah yang masih memiliki Ibu. Dan lakukanlah yang terbaik
untuknya……….. Ya Tuhan, berikan kekuatan dan kesempatan untuk dapat
berbhakti dan membahagiakan ibu… jikalau 1 tahun terlalu banyak, cukuplah
1 hari saja. Jikalau 1 hari Engkau rasa terlalu banyak, cukupkan 1 menit
saja..

Selamat Ulang Tahun dari Ayah

Suatu malam, di sebuah stasiun radio, sedang berlangsung acara dimana
orang-orang berbagi pengalaman hidup mereka. Perhatian saya yang
semula tercurah pada tugas statistik beralih ketika seorang wanita
bercerita tentang ayahnya. Wanita ini adalah anak tunggal dari
sebuah keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran kota Jakarta.
Sejak kecil ia sering dimarahi oleh ayahnya. Di mata sang ayah, tak
satupun yang dikerjakan olehnya benar. Setiap hari ia berusaha keras
untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan ayahnya,
namun tetap saja hanya ketidakpuasan sang ayah yang ia dapatkan.

Pada waktu ia berumur 17 tahun, tak sepatah ucapan selamat pun yang
keluar dari mulut ayahnya. Hal ini membuat wanita itu semakin
membenci ayahnya. Sosok ayah yang melekat dalam dirinya adalah sosok
yang pemarah dan tidak memperhatikan dirinya. Akhirnya ia
memberontak dan tak pernah satu hari pun ia lewati tanpa bertengkar
dengan ayahnya.

Beberapa hari setelah ulang tahun yang ke-17, ayah wanita itu
meninggal dunia akibat penyakit kanker yang tak pernah ia ceritakan
kepada siapapun kecuali pada istrinya. Walaupun merasa sedih dan
kehilangan, namun di dalam diri wanita itu masih tersimpan rasa
benci terhadap ayahnya.

Suatu hari ketika membantu ibunya membereskan barang-barang
peninggalan almarhum, ia menemukan sebuah bingkisan yang dibungkus
dengan rapi dan diatasnya tertulis "Untuk Anakku Tersayang". Dengan
hati-hati diambilnya bingkisan tersebut dan mulai membukanya. Di
dalamnya terdapat sebuah jam tangan dan sebuah buku yang telah lama
ia idam-idamkan. Disamping kedua benda itu, terdapat sebuah kartu
ucapan berwarna merah muda, warna kesukaannya. Perlahan ia membuka
kartu tersebut dan mulai membaca tulisan yang ada di dalamnya, yang
ia kenali betul sebagai tulisan tangan ayahnya.

Ya Tuhan,Terima kasih karena Engkau mempercayai diriku yang rendah
ini. Untuk memperoleh karunia terbesar dalam hidupku Kumohon Ya
Tuhan, Jadikan buah kasih hambaMu ini Orang yang berarti bagi
sesamanya dan bagiMu. Jangan kau berikan jalan yang lurus dan luas
membentang Berikan pula jalan yang penuh liku dan duri Agar ia dapat
meresapi kehidupan dengan seutuhnya. Sekali lagi kumohon Ya Tuhan,
Sertailah anakku dalam setiap langkah yang ia tempuh Jadikan ia
sesuai dengan kehendakMu Selamat ulang tahun anakku Doa ayah selalu
menyertaimu...

Meledaklah tangis sang anak usai membaca tulisan yang terdapat dalam
kartu tersebut. Ibunya menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi.
Dalam pelukan ibunya, ia menceritakan semua tentang bingkisan dan
tulisan yang terdapat dalam kartu ulang tahunnya. Ibu wanita itu
akhirnya menceritakan bahwa ayah memang sengaja merahasiakan
penyakitnya dan mendidik anaknya dengan keras agar sang anak menjadi
wanita yang kuat, tegar dan tidak terlalu kehilangan
sosok ayahnya ketika ajal menjemput akibat penyakit yang
diderita ........

Well, take it or not?

-Warning: Dates in Calendar are closer than they appear.

-If it weren't for the last minute, nothing would get done. –Unknown

-I love deadlines. I like the whooshing sound they make as they fly by.
--Douglas Adams

-A meeting is an event at which the minutes are kept and the hours are lost.

-Why is that when you transport something by car, it's called shipment but when
you transport something by ship it's called cargo?

-Why are they called apartments when they are all stuck together?

-If con is the opposite of pro, is Congress the opposite of progress?

-I always wanted to be a procrastinator, never got around to it.

-I am in shape. Round is a shape.

-A conclusion is simply the place where you got tired of thinking.

-Early to rise, Early to bed, Makes a man healthy but socially dead.

-I hope life isn't a big joke -- because I don't get it.

-I've been on a diet for two weeks and all I've lost is two weeks.
--Totie Fields

-Never assume. It makes an "ass" out of "u" and "me".

-Take my advice, I don't use it anyway.

-I don't have a solution but I admire the problem.

-I've got to sit down and work out where I stand.

-When I give a lecture, I accept that people look at their watches,
but what I do not tolerate is when they look at it and raise it to their ear
to find out if it stopped.--Marcel Achard

-I get plenty of exercise -- jumping to conclusions, pushing my lucks,
and dodging deadlines.

-When everything's coming your way, you're in the wrong lane.

-Why is "abbreviation" such a long word?

-I never did a day's work in my life, it was all fun - Thomas Alva Edison

-Life can be only understood backwards, but it must be lived forwards

10 Kalimat Bijak

1. Uang bukan segalanya. Masih ada Mastercard dan Visa.
2. Kita seharusnya menyukai binatang. Mereka rasanya lezat.
3. Hematlah air. Mandilah di bawah shower bersama pasangan kita.
4. Di belakang setiap pria sukses ada seorang wanita hebat. Di belakang
setiap pria yang tidak sukses ada dua.
5. Cintailah tetangga. Tetapi jangan sampai tertangkap basah.
6. Orang bijaksana tidak menikah. Setelah menikah mereka menjadi bijak sana
dan bijak sini.
7. Cinta itu photogenic. Dia memerlukan tempat gelap untuk berkembang.
8. Pakaian itu adalah pagar pelindung. Pagar seharusnya melindungi tanpa
menghalangi pemandangan yang indah.
9. Semakin banyak belajar, semakin banyak yang kita tahu. Semakin banyak yang
kita tahu, semakin banyak yang kita lupa. Semakin banyak yang kita lupa,
semakin sedikit yang kita tahu. Jadi kenapa kita sibuk belajar ?
10. Masa depan tergantung pada impian kamu. Maka pergilah tidur saja sekarang !

Mengaku salah........SUSAH!!

Dalam hidup ini, ada kalanya kita melakukan kesalahan.
Tetapi sifat dasar manusia biasanya mengelak dari pengakuan pada diri sendiri
bahwa dia sendiri telah melakukan kesalahan.
Ketika orang lain menanyakan ataupun menyatakan bahwa kita telah melakukan
kesalahan, reaksi pertama dari manusia biasanya menyatakan TIDAK, "saya tidak
salah."
Ini lah yang sering kita jumpai dan juga menjadi reaksi pertama dari hal yang
tidak kita inginkan ketika orang lain mengatakan kita salah.
karena pada prinsipnya manusia ingin melindungi diri sendiri dari serangan luar.

Apakah anda sadar bahwa pengelakan dari pernyataan tersebut telah membawa anda
ataupun menjerumuskan diri sendiri?
pernahkah anda renungkan akibat dari kejadian tersebut?

pertama, anda telah menutup diri untuk bercermin pada diri sendiri
dengan begitu anda akan menjadi sulit untuk membuat diri anda menjadi lebih
baik, karena kita tidak mau membuka diri untuk menyadari kekurangan diri

sendir, dan menutup diri untuk membuat diri menjadi lebih maju

kedua, anda telah mengeluarkan pencerminan diri anda yang dimana nantinya akan
berakibat membuat orang lain menjadi kurang percaya terhadap kemampuan anda
sendiri.
contohnya jika ada orang mengatakan bahwa yang anda lakukan salah, tetapi anda
bersikeras pada prinsip sendiri tanpa merenungkan dan memikir kembali kenapa
orang lain bisa mengatakan bahwa anda salah. apakah lain kali orang itu akan
mempercayakan anda untuk melakukan hal tersebut ?
bagaimana jika anda melakukan kesalahan untuk hal yang sama?
karena pada awalnya telah terjadi kesalahan dan disamping itu anda tidak
mau mengakuinya,di tambah lagi anda sendiri tidak merenungkan kesalahan
tersebut sehingga anda tidak mengetahui kesalahan yang ada karena pada
awalnya anda telah mengelak untuk mengakui kesalahan anda

jika kiti mau membuka diri untuk menyadari apa yang telah kita lakukan,
dan bahwa itu salah. maka kita telah membuka diri kita untuk menajdi lebih
baik. karena kita yakin dan tahu benar apa yang telah terjadi.
dari kesalahan tersebut kita akan mengabil hikmah dan belajar agar di suatu
saat nanti terjadi kembali, kita telah mengetahuin bagaimana cara mengatasinya

ketika kita mengakui bahwa kita telah salah, di saat yang sama orang lain juga

akan memberi kita kesempatan untuk memperbaikinya.
karena mereka yakin benar bahawa anda telah tau dimana kekurangannya dan anda
akan berusaha untuk memperbaikiny.

mungkin dalam kehidupan sekarang, yang kita jumpai hanyalah interakis dengan
sesama teman sekolah, jika kita telah memasuki dunia dimana kita bekerja,
kita akan menjadi tidak siap untuk menerima betapa kejinya dunia ini.

Friday, April 4, 2008

Berani Mencoba

Alkisah seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya.

"Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31.104.000 kali
selama setahun?"
"Hah?, kata jam terperanjat," mana sanggup saya?"
"Bagaimana kalo 86.400 kali dalam sehari?"
"Delapan puluh ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping2 seperti
ini?"
"Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam?"
"Dalam satu jam harus berdetak dalam 3.600 kali? Banyak sekali itu?"tetap
saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.
Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian berbicara kepada si jam."Kalau
begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?"
"Naaaa, kalau begitu aku sanggup!"kata jam dengan penuh antusias.

Maka,setelah selesai dibuat,jam itu berdetak satu kali tiap detik.
Tanpa terasa,detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa
karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan
itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31.104.000 kali.





Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa
berat.Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu.
Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun.
Jangan berkata "tidak" sebelum anda pernah mencobanya.